Sejarah Kota dan Kabupaten Sukabumi hingga 1942
Tidak
banyak ditemukan literatur mengenai sejarah Sukabumi. Buku yang ditulis Ruyatna
Jaya, Sejarah Sukabumi yang diterbitkan Pemkot Sukabumi pada
2003 disebutkan bahwa penguasa pertama kawasan ini seorang Raja
bernama Dewawarman (130-168 M). Buktinya adalah altar batu situs Tugu Gede di
Cisolok, arca siwa di Jampang Tengah yang tersimpan di Musuem Sri Baduga,
Bandung. Kawasan ini kemudian masuk ke dalam kerajaan Pajajaran.
Awalnya
cikal bakal kota ini adalah beberapa kampung
seperti Cikole dan . Setelah jatuh ke tangan Mataram
daerah ini berada dalam kekuasaan VOC pada 1677 sebagai balas jasa VOC membantu
Sunan Amangkurat II menumpas pemberontakan Tarunajaya. Kawasan ini awalnya tidak
punya arti ekonomis bagi VOC, sampai ketika kopi jadi komoditi penting.
Mulanya
tanaman kopi diperkenalkan di Jawa pada 1696 dikembangkan di sekitar Benteng
Batavia oleh Gubernur Jendral Van Out Hoorn (1681-1704). Pada masa
kekuasaan Gubernur berikutnya Van Hoorn (1704-1709) bibit kopi
diserahkan kepada bupati di Priangan dan Cirebon. Hasilnya pada 1711
Bupati Cianjur Wiratanu Datar memetik panen pertama. Wilayah perkebunan kopi
diperluas ke sekitar Bogor, Cianjur dan Sukabumi
Komoditas
kopi banyak dibutuhkan VOC, Van Rie Beek dan Zwadecroon berusaha mengembangkan
lebih luas tanaman kopi disekitar Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Pada 1709
Gubernur Van Riebek mengadakan inspeksi ke kebun kopi di Cibalagung (Bogor),
Cianjur, Jogjogan, Pondok Kopo, dan Gunung Guruh Sukabumi. Pada 1786 VOC
membangun jalan setapak yang bisa dilalui kuda dengan rute
Batavia-Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung.
Tiga
tahun kemudian seorang pengusaha Belanda bernama Pieter
Engelhard membuka perkebunan kopi di lereng Tangkuban Perahu. Lokasi
perkebunan itu tepatnya di tanjakan Jl. Setiabudhi (sekarang
Ledeng-UPI). Hasil yang paling memuaskan baru diperoleh th. 1807, setelah
Engelhard mengerahkan ratusan penduduk pribumi.
Jenis
kopinya merupakan kopi unggul yang kemudian laku di pasaran Eropa dengan brand
JAVA KOFFIE. kopi ini menggantikan kopi pahit-buruk dan tidak enak
yang banyak dihidangkan le mauvais Cafe de Batavia (kopi buruk di
Batavia) di awal abad ke-18. (Haryoto Kunto,Bandoeng Tempo Doeloe).
Perkembangan
paling penting terjadi pada 25 Januari 1813 ketika seorang ahli
bedah bernama Dr. Andries de Wilde membeli tanah yang meliputi
5/12 wilayah yang kini meliputi Kabupaten Sukabumi dengan
harga 58 ribu ringgit Spanyol. Batas tanahnya di Timur Sungai
Cikupa, selatan Sungai Cimandiri, Utara lereng Gunung Gede angrango dan batas
ke barat Batavia dan Bogor.
Pada 8
Januari 1815 Cikole dinamakan Sukabumi. . Kota yang saat ini berluas 48,15 km2
ini asalnya terdiri dari beberapa kampung bernama Cikole dan Paroeng Seah,
hingga seorang ahli bedah bernama Dr. Andries de Wilde menamakan Soekaboemi.
Awalnya ia mengirim surat kepada kawannnya Pieter Englhard mengajukan
permohonan kepada pemerintah untuk mengganti nama Cikole. Kata Soekaboemi
berasal dari bahasa Sunda soeka-boemen yang bermakna udara sejuk dan nyaman,
dan mereka yang datang tidak ingin pindah lagi karena suka dengan kondisi
alamnya.
Selain
kopi, perkebunan the juga mendorong arti ekonomis kawasan
Sukabumi. Penanaman the pertama kali dimulai pada 1824 di sekitar
Bogor, Cikajang,Parakan Salak, Ciumbuleuit, Sinagar, Cicurug dan Parakan
Salak. Pada 1844 Gubernur Jendral Van Der Hucht memperluas
perkebunan teh di Parakan Salak ini yang mempunyai ketinggian
antara 625 hingga 950 meter dan di sekitar Gunung Endut pada ketinggian
1474 meter.
Perkebunan
teh di kawasan Parakan Salak ini dibeli oleh keluarga Holle, sementara
perkebunan di Sinagar (Nagrak) dibeli oleh keluarga Hogeven. Priangan kemudian
memang jadi wilayah perkebunan the. Pada 1865 anak sulung de Holle
bernama Karel Frederik Holle membuka perkebunan the Waspada pada 1865 di
bayongbong, Garut. Pengusaha the bermunculan dari berbagai keluarga, misalnya
Keluarga Van Der Huchts, De Kerkhovens, Van Motman,de Boscha’s dan sebagainya.
Hingga akhir masa Hindia Belanda terdapat 81 perkebunan teh di wilayah
Priangan.
Bertepatan
dengan berlakunya Undang-undang agraria pada 1870, maka pada 10
September 1870 diangkat seorang Patih dan seorang asisten Residen untuk
memerintah Sukabumi. Daerah Sekabumi naik statusnya menjadi
afdeeling. Wilayah ini kemudain dibagi menjadi sejumlah distrik seperti Distrik
Gunungparang, Distrik Cimahi, Distrik Cicurug, Distrik Ciheulang, Distrik
Pelabuhan Ratu, Distrik Jampang Tengah dan Distrik Jampang Kulon.
Para
Patih yang memerintah Sukabumi semasa afdeeling antara lain Patih Aria
Wangsa Reja yang diangkat berdasarkan Statblad No,121 Tahun 1870
tertanggal 10 September 1870. Selanjutnya yang menjadi patih Sukabumi adalah
Aria Kartareja, Patih Aria Kartakusumah, Patih Suryanatalegawa, Patih
Suryanapamekas (menjabat pada 8 Oktober 1905), Patih Suryaningrat dan Patih
Suryanatabrata 1913-1921.
Pada
1 Juni 1921 status Sukabumi naik lagi menjadi Kabupaten dengan Patih
Suryanatabrata menjadi Bupati pertama hingga 1930. Secara hukum tata negara
hari jadi Kabupaten Sukabumi pada 1 Juni ini. Bupati kedua adalah
Bupati RTA Surya Danoeningrat yang merupakan Bupati terakhir masa Hindia
Belanda hingga 1942. Pada masa pendudukan Jepang RTA Surya Danoeningrat ini tetap
menjabat menjadi Bupati sampai masa kemerdekaan.
Perkembangan Kota
dan Gaya Hidup
Seperti
halnya kota-kota lain masa Hindia Belanda pada abad ke 20 surat kabar lokal pun
bermunculan. Yang menarik salah satu surat kabar tertua yang terbit di Sukabumi
ialah Li Po yang diterbitkan peranakan Tionghoa tetapi berbahasa
Melayu. Surat kabar itu terbit mingguan setiap hari Sabtu dengan
redaktur seperti Tan Giong Tiong da Yoe Tjan Siang. Edisi pertama
tertanggal 3 Januari 1903.
Umumnya
berita-berita yang disajikan berkaitan dengan agama Katolik dengan dukungan
iklan dari perniagaan. Iklan yang ada dalam surat kabar itu sudah
mengisyaratkan gaya hidup orang kota masa itu, misalnya pemakaian air wangi
untuk menghilangkan bau badan, hingga iklan obat. Terdapat juga
sejumlah iklan menjual mesin penggilingan beras hingga
pemasangan lotre.
Pada
1921 sebagaiman dilaporkan oleh L. de Steurs (Residen
Priangan) tanggal 2 Januari 1921, di Sukabumi telah berdiri dua
buah zendingschool dan sebuah sekolah partikelir yang bernama Hollandsch-Chineescheschool. Pada
masa Hindia Belanda pada 1910-an didirikanlah Sekolah-sekolah rakyat di
Kota Sukabumi, diantaranya adalah Sekolah Rakyat Gunungpuyuh, Sekolah Rakyat
Benteng, Yang tertua adalah Sekolah Rakyat Kebon Jati. Sekolah
Rakyat ( SR) Gunungpuyuh yang didirikan pada tahun 1914 ini, lama pendidikannya
selama 3 tahun,
Kota
Sukabumi juga naik statusnya pada 1 April 1914, Sukabumi diangkat statusnya
menjadi Gemeente. Dengan semakin banyaknya berdiam orang Belanda dan
Eropa pemilik perkebunan (Preanger Planters) di daerah Selatan dan harus
mendapatkan kepengurusan dan pelayanan yang istimewa. Pada tanggal yang sama
354 tahun yang lalu, Belanda bangga memenangkan perang melawan Spanyol.
Namun
secara resmi baru pada 1 Mei 1926 pemerintahan kota dibentuk dan
diangkat Mr. GF. Rambonet sebagai burgemeester (wali kota) pertama di Sukabumi
seperti yang ditulis dalam blog sukabumi.dagdigdug.com/2009/03/12/sejarah-kota-sukabumi.
Hal ini juga diungkapkan Ruyatna Jaya, Sejarah Sukabumi). Pada
waktu itu Kota Sukabumi sudah dihuni oleh 1520 orang Eropa, sekitar 19 ribu
penduduk dan sekitar 3 ribu penduduk Cina.
Pada
masa pemerintahan Rambonet inilah dibangun sarana dan prasarana
penting seperti Stasiun Kereta Api, Mesjid Agung, Gereja, prasarana olahraga
dan hiburan dan Pembangkit Listrik Ubrug. Stasiun Kereta Api, Mesjid
Agung, Gereja Kristen, Gereja Katolik, pembangkit listrik Ubrug; Centrale
(Gardu Induk) Cipoho, Sekolah Polisi Gubermen yang berdekatan dengan lembaga
pendidikan Islam tradisionil Gunung Puyuh.
Salah
satu tempat favorit para elite Eropa ini adalah pacuan kuda yang
dilakukan di Cibolong. Setelah Rambonet yang menjadi Walikota
Sukabumi adalah WM Ouwekerk, Ala Van Unen dan WJ PH Van
Waning. Pertumbuhan perkebunan juga merangsang pertumbuhan tempat
wisata. Kawasan wisata Danau Lido yang hingga kini juga menajdi
tempat wisata khas Sukabumi sebetulnya juga dibuat pada zaman
Belanda. Pada 1898, saat Belanda membangun Jalan Raya
Bogor-Sukabumi, mereka mencari tempat untuk peristirahatan para petinggi
pengawas pembangunan jalan dan pemilik perkebunan.
Danau
Lido adalah danau alam yang letaknya di lembah Cijeruk dan Cigombong. Jika
dilihat dari atas, Danau Lido seperti mangkuk di kaki Gunung Gede-Pangrango. Di
dekat danau ini juga terdapat air terjun Curug Cikaweni yang mengalirkan air
yang sangat dingin. Kawasan ini baru dibuka untuk umum pada tahun
1940 setelah Ratu Wilhelmina datang dan beristirahat di Lido pada tahun yang
sama. Ketika itu, restoran pertama diresmikan sebagai pelengkap fasilitas
kawasan wisata dan juga untuk menjamu Sang Ratu ( blog.cicurug.com)
Tempat
wisata lainnya yang dibangun masa Belanda
adalah Selabintana yang terletak 7 kilometer dari kota Sukabumi.
Wisatawan hingga kini mendapatkan jejak sejarah peninggalan Belanda
yang dipadu dengan panorama Gunung Gede-Pangrango. Hotel yang dibuat pada tahun
1900-an oleh seorang berkebangsaan Belanda tetap bertahan hingga kini dan masih
menjadi ikon Selabintana.
Pergerakan
Politik dan Keagamaan
Buku Riwayat
Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi yang ditulis Miftahul Falah, diterbitkan pada
2008 oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, member kesan paad
saya bahwa pergerakan politik lokal kawasan Sukabumi tampaknya didominasi
pergerakan Islam. Di antaranya adalah Sarekat Islam
Sukabumi didirikan pada 1913 bersamaan dengan berdirinya Sarekat Islam di Cianjur,
Bandung, dan Cimahi. Pada tahun itu juga, H. O.
S. Tjokroaminoto, Presiden Sarekat Islam Pusat, berkunjung
ke Sukabumi. Daerah-daerah yang
dikunjungi adalah basis Sarekat Islam di
Sukabumi yaitu Cicurug, Babakanpari, Kalapanunggal, Palasari Girang, dan
Jampang
Pada 1916,
masyarakat Sukabumi yang menjadi anggota Sarekat Islam diperkirakan
kurang dari 500 orang. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama, Sarekat
Islam Cianjur memiliki anggota sekitar 8.000 orang, Sarekat Islam Bandung memiliki
anggota sekitar 1.500 orang, dan Sarekat Islam
Tasikmalaya memiliki anggota sekitar 1.200 orang. Pada waktu itu,
yang menjadi pemimpin Sarekat Islam Sukabumi adalah Haji Sirod.
Tokoh
penting Sarekat Islam Sukabumi adalah K.H. Ahmad Sanusi yang bergabung kemudian.
Kelahiran Desa Cantayan, Onderdistrik Cikembar, Distrik
Cibadak,kira-kira 1889 ini adalah salah seorang anak K.
H. Abdurrohim, seorang ajengan dari
Cantayan. Sanusi kemudian menjadi penerus pesntren
Cantayan setelah berguru di sejumlah pesantren dan Mekah. Sejak Juli 1915, ia
menjadi penasihat (adviseur) Sarekat Islam Sukabumi.
Pada
1919, K. H. Ahmad Sanusi mendirikan sebuah pesantren di Kampung Genteng,
Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi. Bagi K. H. Ahmad Sanusi,
Pesantren Genteng merupakan sebuah alat bagi perjuangannya
untuk menegakkan syariat Islam di Sukabumi. Pengaruh kuat
Sanusi pada masyarakat Sukabumi menjadikannya target penangkapan pemerintah
Kolonial.
Pemberontakan
berdarah di Banten 1926 dan pengerusakan dua jaringan kawat telepon yang
menghubungkan Sukabumi dengan Bandung dan Bogor pada Agustus 1927
membuat Pemerintah Kolonial menangkap Sanusi dan membuangnya ke Tanah Tinggi,
Batavia. Namun pengasingan itu tidak menyurutkan pengaruh Sanusi.
Para pengikutnya kerap mengunjunginya.
Sekitar
1931, para ulama pengikut K. H. Ahmad Sanusi menggelarkan pertemuan
di Pesantren Babakan. Cicurug. Dalam pertemuan yang dipimpin oleh K. H.
Muh.Hasan Basri itu, mereka membicarakan berbagai persoalan keagamaan dan
kemasyarakatan. Dalam pertemuan inilah, keinginan untuk membentuk sebuah
organisasi semakin mengkristal. Pada akhirnya, para kyai yang menghadiri
pertemuan itu mencapai kesepakatan untuk membentuk sebuah organisasi yang akan
diberi nama Al Ittihadjatoel Islamijjah.
Pada
1930-an, pemerintah kolonial menjadikan Sukabumi sebagai daerah
pembuangan para para pemimpin pergerakan nasional. Pada masa akhir penjajahan
Belanda, tercatat beberapa pejuang nasional yang dibuang di Kota Sukabumi.
Tjipto Mangunkusomo, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir merupakan tiga
tokoh pergerakan nasional yang dibuang Pemerintah Hindia Belanda ke
Sukabumi. Tjipto Mangunkusomo tidak lama menjadi tahanan di Sukabumi,
tetapi kemudian ia beserta keluarganya memilih untuk menetap di Salabintana.
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
Megapolitan dan BOPUNJUR
Kuliner Khas BOPUNJUR
Shopping Center BOPUNJUR
- Botani Square, Bogor
- Ekalokasari Plaza, Bogor
- Bogor Trade Mall
- Yogya Bogor Junction
- Plaza Jambu Dua, Bogor
- Bogor Trade World
- Taman Topi Square, Bogor
- Matahari Department Store, Bogor
- Plaza Jembatan Merah, Bogor
- Pusat Grosir Bogor Merdeka
- Plaza Indah Bogor
- Plaza Bogor Surya Kencana
- Giant Taman Yasmin, Bogor
- The Jungle Mall, Bogor
- Cibinong City Mall, Bogor
- Bellanova Country Mall, Bogor
- Metropolitan Mall Cileungsi, Bogor
- Cibinong Square, Bogor
- Mall Ramayana Cibinong, Bogor
- Sukabumi Indah Plaza
- Supermall Sukabumi
- Capitol Plaza, Sukabumi
- Selamat Mall, Sukabumi
- Yogya Plaza, Sukabumi
- Tiara Plaza, Sukabumi
- Sukabumi Raya Plaza
- Hypermart Mayofield Mall, Cianjur
- Citra Niaga, Cianjur
- Selamat Toserba, Cianjur
- Tiara Plaza, Cianjur
- Rita Supermall, Cianjur
- Matahari Mall, Pelabuhan Ratu
- Ramayana Square, Pelabuhan Ratu
- Samudera Mall, Pelabuhan Ratu
Info Wisata Sukabumi
- Pantai Cibangban
- Sungai Citarik
- Sungai Cicatih
- Goa Buniayu
- Pantai Ujung Genteng
- Pantai Cimaja
- Taman Rekreasi Selabintana
- Situ Gunung
- Kampung Ciptagelar
- Sumber Air Panas Cikundul
- Curug Cikaso
- Pantai Pelabuhan Ratu
- Curug Cigangsa
- Wisata Cinumpang
- Karang Hawu
- Pantai Loji
- Gua Lalay/Gua Kelelawar
- Situs Batu Kujang I dan II
- Curug Cibeureum
- Curug Bibijian
0 komentar:
Posting Komentar